Fasilitator Musyawarah Perencanaan Pembangunan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (Musrenbang RKPD) Sebagai Pilar Penguatan Partisipasi dalam Sistem Perencanaan Pembangunan Daerah Di Kota Metro
Isnan Elmasara, S.E., M.M.[1]
Perencana Ahli Muda pada Bappeda Kota Metro
Abstract
This policy paper carries the theme “Facilitators of the Regional Government Work Plan Development Planning Forum (Musrenbang RKPD) as a Pillar for Strengthening Participation in the Regional Development Planning System in Metro City.” Musrenbang, as regulated in Law Number 25 of 2004 and Minister of Home Affairs Regulation Number 86 of 2017, serves as a deliberative platform for the community to express development aspirations. However, its implementation often remains procedural rather than fully participatory. The role of facilitators is therefore highly strategic in ensuring that the Musrenbang process is inclusive, communicative, and substantive. This study identifies key challenges in the implementation of Musrenbang, including weak facilitator capacity, the absence or limitation of certification mechanisms, and low civil society engagement. The policy paper proposes strengthening the facilitator’s role through the establishment of competency standards, tiered training and certification, and collaboration among the government, academia, and civil society. These efforts are expected to promote a transparent, accountable, and participatory development planning process.
Keywords: Musrenbang, facilitator, community participation, RKPD
I. Pendahuluan
1.1 Gambaran Umum
Musrenbang merupakan tahapan krusial dalam siklus perencanaan pembangunan nasional dan daerah. Berdasarkan Pasal 1 angka 21 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004, Musrenbang adalah forum antar pelaku pembangunan untuk menyusun rencana pembangunan nasional maupun daerah.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 86 Tahun 2017 kemudian mengatur penyelenggaraan Musrenbang RKPD kabupaten/kota (Pasal 94), dan peran fasilitator dalam menjaga kualitas proses dan hasil Musrenbang RKPD.
Fasilitator adalah orang yang berperan memfasilitasi atau menyediakan fasilitas, membantu dan memudahkan anggota kelompok atau masyarakat untuk menghadapi permasalahan.[2] Fasilitator yang memiliki persyaratan kompetensi dan kemampuan memandu pembahasan dan proses pengambilan keputusan dalam kelompok diskusi. Fasilitator bertanggungjawab terhadap kelancaran proses pembahasan dan pengambilan keputusan untuk menyepakati setiap materi yang dibahas dalam setiap kelompok diskusi.[3]
[1] Isnan Elmasara adalah Perencana Ahli Muda pada Badan perencanaan Pembangunan Daerah Kota Metro
[2] Ahmad Mustanir, Fitriani S, Khaeriyah Adri, Andi Ayu Nurnawati, Goso Goso, Sinergitas peran pemerintah desa dan partisipasi masyarakat terhadap perencanaan pembangunan di Kabupaten Sidenreng Rappang, Juli 2020
[3] Republik Indonesia. Permendagri Nomor 86 Tahun 2017 tentang Tata Cara Perencanaan, Pengendalian, dan Evaluasi Pembangunan Daerah, 2017
1.2 Latar Belakang
Penyelenggaraan Musrenbang terutama pada tahapan penyusunan RKPD sering menghadapi kendala partisipasi yang tidak merata dan minimnya kapasitas fasilitator dalam mengelola forum diskusi. Kondisi ini mengakibatkan Musrenbang RKPD cenderung bersifat administratif, bukan deliberatif sehingga hasil musrenbang yang berupa usulan perencanaan pembangunan tidak berkualitas dan sulit dalam menentukan prioritas untuk dapat diakomodir pada rencana kerja pemerintah daerah. Padahal, menurut Pasal 2 ayat (4) huruf d Undang-Undang 25 tahun 2004, sistem perencanaan pembangunan nasional harus mengoptimalkan partisipasi masyarakat.
1.3 Tujuan Penulisan
- Mengidentifikasi peran strategis fasilitator dalam pelaksanaan Musrenbang RKPD.
- Menelaah dasar hukum dan kebijakan fasilitasi Musrenbang RKPD.
- Merumuskan rekomendasi kebijakan penguatan fasilitator Musrenbang RKPD yang profesional dan berkelanjutan.
II. Permasalahan
2.1 Isu Utama
- Kapasitas fasilitator yang belum memadai dalam memandu proses partisipatif.
- Ketiadaan sistem sertifikasi bagi fasilitator Musrenbang RKPD.
- Partisipasi masyarakat yang belum inklusif, terutama dari kelompok marginal.
- Keterbatasan evaluasi kualitas hasil Musrenbang RKPD.
2.2 Analisis Kontroversi, Kesenjangan, dan Inkonsistensi (CGI Approach)[4]
Pelaksanaan Musrenbang RKPD di Kota Metro telah menjadi bagian penting dari siklus perencanaan pembangunan tahunan. Forum ini diharapkan mampu menjaring aspirasi masyarakat secara partisipatif untuk kemudian diakomodir dalam dokumen perencanaan daerah, seperti RKPD dan Renja Perangkat Daerah. Namun, hasil analisis menggunakan pendekatan Controversy, Gap, and Inconsistency (CGI Approach) menunjukkan bahwa masih terdapat sejumlah permasalahan yang
menyebabkan rendahnya efektivitas Musrenbang dalam memengaruhi arah kebijakan pembangunan, salah satunya terlihat dari usulan masyarakat yang tidak signifikan terakomodir dalam program dan kegiatan pemerintah daerah.
1. Peran Fasilitator
Masih terdapat kontroversi di lapangan bahwa pelaksanaan Musrenbang di Kota Metro seringkali hanya dipandang sebagai kegiatan formalitas tahunan. Banyak peserta hadir sekadar memenuhi undangan, bukan sebagai bagian dari proses substantif untuk menentukan prioritas pembangunan. Akibatnya, banyak usulan masyarakat yang tidak tersampaikan secara argumentatif dan terstruktur, sehingga peluang untuk diakomodir dalam RKPD menjadi kecil.
Dari sisi kesenjangan (gap), belum ada standar nasional maupun pedoman teknis daerah yang secara eksplisit mengatur peran, kualifikasi, dan metode fasilitasi yang ideal bagi proses Musrenbang. Hal ini menyebabkan pelaksanaan di setiap kecamatan dan kelurahan berjalan dengan pendekatan yang berbeda-beda. Akibatnya, muncul inkonsistensi, di mana beberapa wilayah tidak melibatkan fasilitator profesional atau tenaga perencana yang memahami prinsip partisipatif dan sinkronisasi kebijakan, sehingga hasil Musrenbang cenderung administratif dan tidak mampu “bernegosiasi” dengan prioritas program Pemerintah Kota Metro maupun Pemerintah Pusat.
2. Kapasitas Fasilitator
Dari sisi kontroversi, kapasitas fasilitator di Kota Metro belum merata. Sebagian fasilitator berperan aktif dalam mengarahkan diskusi dan membantu masyarakat menyusun usulan yang relevan dengan arah kebijakan daerah, namun sebagian lainnya masih pasif dan hanya berfungsi sebagai pencatat kegiatan. Kesenjangan muncul karena minimnya pelatihan teknis, bimbingan, dan mekanisme penguatan kapasitas yang berkelanjutan bagi para fasilitator, terutama dalam aspek analisis kebutuhan masyarakat, perumusan prioritas berbasis data, dan penyusunan usulan yang sinkronisasi dengan program Pemerintah Kota Metro dan Pemerintah Pusat.
Hal ini berujung pada inkonsistensi hasil Musrenbang RKPD, banyak usulan masyarakat yang bersifat mikro (seperti kegiatan fisik skala kecil) dan tidak terhubung dengan arah pembangunan strategis daerah. Kondisi ini berkontribusi terhadap rendahnya tingkat akomodasi usulan hasil Musrenbang, karena banyak yang tidak sesuai dengan pagu indikatif maupun prioritas tematik dalam RKPD Kota Metro.
3. Partisipasi Publik
Terkait partisipasi publik, muncul kontroversi bahwa forum Musrenbang RKPD di Kota Metro belum sepenuhnya mencerminkan prinsip inklusifitas. Kelompok perempuan, penyandang disabilitas, pemuda, dan masyarakat miskin masih memiliki ruang yang terbatas dalam menyampaikan aspirasi. Akibatnya, usulan yang muncul seringkali didominasi oleh kelompok tertentu, yang tidak selalu mewakili kebutuhan kelompok rentan.
Dari sisi kesenjangan, representasi masyarakat dalam Musrenbang RKPD belum mencerminkan komposisi sosial yang beragam, baik dari segi wilayah, gender, maupun sektor. Selain itu, inkonsistensi terjadi antara praktik di lapangan dan semangat yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, yang menekankan pentingnya pelibatan seluruh unsur masyarakat secara aktif dalam penyusunan rencana pembangunan.
Kondisi ini turut berimplikasi pada ketidaksesuaian antara usulan masyarakat dan arah kebijakan pembangunan daerah, yang menyebabkan proporsi usulan yang diakomodir dalam RKPD masih relatif kecil dan belum menunjukkan keterhubungan langsung dengan hasil Musrenbang di tingkat bawah.
Hasil analisis CGI menunjukkan bahwa tantangan utama dalam pelaksanaan Musrenbang RKPD di Kota Metro bukan hanya terletak pada aspek teknis, tetapi juga pada tata kelola dan kualitas proses partisipatif. Kontroversi muncul karena persepsi formalitas Musrenbang masih kuat; kesenjangan disebabkan oleh belum adanya standar dan peningkatan kapasitas fasilitator; serta inkonsistensi terlihat pada praktik yang belum sepenuhnya sesuai dengan semangat partisipatif dalam kebijakan Daerah maupun nasional. Kondisi ini berdampak langsung pada rendahnya tingkat keterakomodasian usulan hasil Musrenbang dalam dokumen perencanaan daerah. Oleh karena itu, diperlukan langkah penguatan berupa:
- Penyusunan pedoman lokal fasilitasi Musrenbang Kota Metro yang berisi standar kompetensi, mekanisme evaluasi, dan tata cara fasilitasi partisipatif.
- Peningkatan kapasitas fasilitator melalui pelatihan teknis dan sertifikasi kompetensi berbasis perencanaan partisipatif.
- Penyempurnaan mekanisme umpan balik (feedback loop) antara masyarakat dan perangkat daerah agar usulan Musrenbang dapat diolah dan disinkronkan secara lebih transparan dengan prioritas pembangunan dalam RKPD.
Dengan penguatan tersebut, Musrenbang RKPD di Kota Metro dapat berkembang menjadi forum partisipatif yang substantif, inklusif, dan memiliki pengaruh nyata terhadap kebijakan pembangunan daerah dan nasional.
Tabel 1. Analisis Kontroversi, Kesenjangan, dan Inkonsistensi (CGI Approach)
|
No |
Issue |
Controversy |
Gap |
Inconsistency |
|
1 |
Peran fasilitator |
Musrenbang sering dianggap formalitas |
Tidak ada standar nasional |
Tidak semua daerah melibatkan fasilitator profesional |
|
2 |
Kapasitas fasilitator |
Kompetensi tidak seragam antar fasilitator |
Minim pelatihan teknis |
Tidak ada mekanisme evaluasi peran fasilitator |
|
3 |
Partisipasi publik |
Forum belum inklusif |
Minim representasi perempuan/difabel |
Tidak sesuai semangat partisipatif UU 25/2004 |
[4] Dadang Solihin, 2020 Perencana yang Profesional dan Modern. Bappenas Working Papers, Vol. III, No. 1, Maret 2020
III. Landasan Hukum dan Konseptual
3.1 Landasan Hukum
- Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004
- Pasal 2 ayat (4): menjamin terciptanya integrasi, sinkronisasi, dan sinergi baik antarDaerah, antar ruang, antar waktu, antar fungsi pemerintah maupun antara Pusat dan Daerah; menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, dan pengawasan; mengoptimalkan partisipasi masyarakat; dan menjamin tercapainya penggunaan sumber daya secara efisien, efektif, berkeadilan, dan berkelanjutan.
- Pasal 11, 16, 22: Musrenbang sebagai bagian integral penyusunan RPJP, RPJM, dan RKPD/RKP.
- Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 86 Tahun 2017
- Pasal 96, 97, 98, 99, dan 100: tata cara Musrenbang berjenjang.
- Pasal 83: Bappeda mengkoordinasikan pelaksanaan Musrenbang yang pada teknis pelaksanaannya didukung dengan Fasilitator yang merupakan Tenaga terlatih atau berpengalaman yang memiliki kompetensi dan kemampuan memandu pembahasan dan proses pengambilan keputusan dalam kelompok diskusi musrenbang untuk menjaga kulaitas forum. Hasil Musrenbang RKPD menjadi dasar penyusunan rancangan akhir dokumen Racangan RKPD .
3.2 Konsep dan Prinsip Fasilitasi dalam Musrenbang RKPD
Dalam konteks perencanaan pembangunan daerah, fasilitator Musrenbang memiliki peran strategis sebagai mediator, moderator, dan interpreter kebijakan publik. Sebagai mediator, fasilitator menjembatani kepentingan antara masyarakat dan pemerintah daerah agar aspirasi yang muncul dapat diterjemahkan menjadi bagian dari kebijakan pembangunan. Sebagai moderator, fasilitator mengelola jalannya diskusi agar tetap fokus, seimbang, dan kondusif, memastikan setiap peserta memiliki kesempatan yang setara untuk berpendapat. Sementara sebagai interpreter kebijakan publik, fasilitator berperan menjelaskan arah, prioritas, serta keterbatasan kebijakan pemerintah daerah agar masyarakat memahami konteks dan batasan dalam penyusunan rencana pembangunan. Untuk menjalankan peran tersebut secara efektif, fasilitator berpedoman pada prinsip dasar fasilitasi partisipatif yang meliputi:
- Inklusivitas: memastikan seluruh unsur masyarakat, termasuk kelompok marginal dan rentan, memiliki akses dan kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam proses Musrenbang.
- Transparansi: menjamin keterbukaan informasi mengenai proses, data, dan hasil Musrenbang sehingga membangun kepercayaan antara masyarakat dan pemerintah.
- Kolaborasi: mendorong kerja sama antara pemerintah, masyarakat, dunia usaha, akademisi, dan pemangku kepentingan lainnya dalam merumuskan prioritas pembangunan daerah.
- Representasi Sosial: memastikan peserta Musrenbang benar-benar mewakili keberagaman kepentingan sosial dan wilayah, sehingga hasil musyawarah memiliki legitimasi publik yang kuat.
Penerapan prinsip-prinsip tersebut menjadikan fasilitasi bukan sekadar proses administratif, tetapi mekanisme demokratis untuk mewujudkan perencanaan pembangunan yang partisipatif, inklusif, dan berkeadilan sosial.
IV. Analisis dan Alternatif Kebijakan
4.1 Analisis
Kondisi aktual saat ini sebagian besar fasilitator Musrenbang di daerah berasal dari aparatur desa atau staf Bappeda tanpa pelatihan khusus. Ini berdampak pada rendahnya kualitas diskusi dan tidak terserapnya aspirasi masyarakat secara proporsional. Perbedaan yang sangat signifikan dapat dilihat pada table berikut ini:
Tabel 2. Jumlah Usulan Hasil Musrenbang Kecamatan Pada SIPD
|
Uraian |
2025 |
2026 |
||
|
Jumlah Usulan |
Jumlah Usulan Terakomodir Pada RKPD |
Jumlah Usulan |
Jumlah Usulan Terakomodir Pada RKPD |
|
|
Usulan Hasil Musrenbang Kecamatan |
2884 |
330 |
2551 |
330
|
4.2 Alternatif Kebijakan
Tabel 3. Alternatif Kebijakan
|
No |
Alternatif Kebijakan |
Deskripsi |
Kelebihan |
Kelemahan |
|
1. |
kondisi yang ada saat ini dan sedang berjalan (Sekarang) |
Tidak ada perubahan dalam sistem fasilitator |
Tanpa biaya tambahan |
Kualitas Musrenbang stagnan |
|
2. |
Pelatihan Teknis Dasar |
Pelatihan internal bagi aparatur |
Meningkatkan pengetahuan dasar |
Tidak menjamin profesionalitas |
|
3. |
Fasilitator Profesional Bersertifikasi |
Standar nasional dan sertifikasi kompetensi |
Profesional dan kredibel |
Perlu anggaran khusus |
|
4. |
Kolaborasi Multi Pihak |
Pelibatan akademisi, LSM, dan profesional |
Partisipasi luas dan inovatif |
Koordinasi lintas sektor kompleks |
V. Rekomendasi dan Strategi Implementasi
5.1 Rekomendasi Utama
Mengintegrasikan dari Alternatif Kebijakan, yaitu:
- Alternatif Kebijakan 2 Pelatihan Teknis Dasar bagi fasilitator
- Alternatif Kebijakan 3 Fasilitator Profesional Bersertifikasi
- Alternatif Kebijakan 4 Kolaborasi Multi-Pihak
5.2 Strategi Implementasi
- Penyusunan Standar Kompetensi Fasilitator Musrenbang oleh Bappenas dan Kemendagri.
- Pelatihan dan Sertifikasi Berjenjang (Dasar, Menengah, Ahli) bekerja sama dengan LAN dan universitas.
- Pembentukan Jejaring Fasilitator Musrenbang Daerah di bawah koordinasi Bappeda.
- Evaluasi Kinerja Fasilitator berbasis indikator inklusivitas dan representasi sosial:
Evaluasi Kinerja Fasilitator Artinya melakukan penilaian terhadap seberapa baik fasilitator menjalankan perannya dalam proses Musrenbang atau forum partisipatif lainnya. Penilaian mencakup aspek seperti 1.Kemampuan mengelola forum diskusi; 2. Kemampuan memediasi perbedaan pendapat; 3. Kemampuan mendorong partisipasi masyarakat; dan 4. Kemampuan menerjemahkan aspirasi menjadi usulan yang jelas.
1) Evaluasi Kinerja Fasilitator berbasis indikator inklusivitas
Artinya penilaian didasarkan pada sejauh mana fasilitator mampu memastikan bahwa seluruh kelompok masyarakat termasuk kelompok rentan memiliki kesempatan yang sama untuk berpartisipasi.
beberapa indikator inklusivitas yang dapat digunakan antara lain:
- Jumlah dan proporsi peserta perempuan, penyandang disabilitas, pemuda, dan kelompok rentan lainnya dalam forum.
- Fasilitator memberikan ruang bicara yang setara bagi semua peserta.
- Materi dan metode fasilitasi disampaikan dengan cara yang mudah dipahami semua kalangan (tidak hanya elit atau tokoh masyarakat).
Dengan kata lain, fasilitator dinilai bukan hanya dari kemampuan teknisnya, tetapi juga dari kepekaan sosial dan keadilan partisipatif yang ia bangun dalam forum Musrenbang.
2) Evaluasi Kinerja Berbasis Indikator Representasi Sosial
Dalam hal ini yang dimaksud adalah penilaian kinerja juga melihat apakah peserta yang hadir dan aktif dalam forum benar-benar mewakili berbagai kelompok sosial di masyarakat. Indikator representasi sosial bisa mencakup hal-hal seperti:
- Keberagaman asal wilayah peserta (semua kelurahan atau dusun terwakili).
- Keterlibatan unsur masyarakat seperti tokoh adat, akademisi, organisasi masyarakat sipil, pelaku usaha, dan kelompok perempuan.
- Adanya keseimbangan antara kepentingan kelompok dominan dengan kelompok minoritas dalam proses pengambilan keputusan.
VI. Penutup
Fasilitator Musrenbang merupakan elemen penting dalam mewujudkan sistem perencanaan pembangunan yang partisipatif sebagaimana amanat Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 dan Peraturan Meneteri Dalam Negeri Nomor 86 Tahun 2017. Profesionalisasi dan penguatan kapasitas fasilitator adalah investasi kelembagaan yang penting bagi pemerintah daerah khususnya Kota Metro dalam meningkatkan kualitas proses Musrenbang dan legitimasi kebijakan pembangunan.
Referensi
Republik Indonesia. (2004). Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.
Republik Indonesia. (2017). Permendagri Nomor 86 Tahun 2017 tentang Tata Cara Perencanaan, Pengendalian, dan Evaluasi Pembangunan Daerah.
Solihin, D. (2020). Perencana yang Profesional dan Modern. Bappenas Working Papers, Vol. III, No. 1.
Ahmad Mustanir, Fitriani S, Khaeriyah Adri, Andi Ayu Nurnawati, Goso Goso. (2020). Partisipasi Masyarakat dalam Perencanaan Pembangunan Daerah.
Saran : musti ditambah data dukungnya, plg gak 3 th. Misal : data usulan musrenbang dgn data yg diakomodir di RKPD, jumlah partisipan pd saat keg musren, dll.
Trus ada data gak, bhw usulan yg difasilitasi oleh fasilitator ini lbh baik dibanding yg cm input data lsg?
Ketika hrs efisiensi anggaran, apakah msh penting dilakukan kegiatan fasilitasi musrenbang ini dgn tim fasilitator? Atau cukup lwt aplikasi/online sj dan kemudian di verifikasi scr online jg?
Mungkin ini bs dijadikan tambahan pembahasan.
🙏
Emi Nelawati says:
November 2, 2025 at 6:06 am
Saran : musti ditambah data dukungnya, plg gak 3 th. Misal : data usulan musrenbang dgn data yg diakomodir di RKPD, jumlah partisipan pd saat keg musren, dll.
Trus ada data gak, bhw usulan yg difasilitasi oleh fasilitator ini lbh baik dibanding yg cm input data lsg?
Ketika hrs efisiensi anggaran, apakah msh penting dilakukan kegiatan fasilitasi musrenbang ini dgn tim fasilitator? Atau cukup lwt aplikasi/online sj dan kemudian di verifikasi scr online jg?
Mungkin ini bs dijadikan tambahan pembahasan. 🙏
menanggapi saran dan masukan dari ibu Emi Nelawati:
1. data usulan musrenbang yang dapat disediakan oleh penulis hanya tahun 2025 dan 2026 bersumber dari usulan aspirasi pada SIPD, dapat dilihat pada data Tabel 2. Jumlah Usulan Hasil Musrenbang Kecamatan Pada SIPD cukup besar selisih antara usulan dan realisasi pada RKPD.
2. pada pelaksanaan musrenbang kecamatan rata-rata partisipan musrenbang mencapai 100 orang dan memang sudah mewakili dari unsur-unsur yang di amanatkan oleh peraturan yaitu Musrenbang harus bersifat inklusif, tetapi kehadiran hanya sebatas pada acara seremonialnya saja, tidak pada saat desk musrenbang, dan usulan yang masuk atau di akomodir tidak menampung dari semua unsur partisipan yang hadir.
3. Pelaksanaan Musrenbang sudah diatur oleh UU 25 tahun 2004 dan Permendagri 86 Tahun 2017 jadi secara hukum tetap harus dilaksanakan berjenjang dari tingkat kecamatan, kabupaten/kota, provinsi dan nasional.
Menurut penulis selama belum ada perubahan terhadap UU 25 tahun 2004 dan Permendagri 86 Tahun 2017 pelaksanaan Musrenbang tetap harus dilaksanakan dan fasilitator tetap harus ada, karena fasilitator Musrenbang memiliki peran strategis sebagai mediator, moderator, dan interpreter kebijakan publik.
Verifikasi usulan musrenbang pada aplikasi secara online pada sipd juga merupakan ketetapan dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Permendagri Nomor 86 Tahun 2017, Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 90 Tahun 2019, Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 70 Tahun 2019.
pada policy paper ini penulis menekankan bahwa pada setiap pelaksanaan msurenbang fasilitator yang mendampingi belum dibekali dengan pemahaman bagaimana menentukan usulan yang berkualitas, serta penyampaian pemahaman ke pada peserta musrenbang keterkaitan program prioritas baik daerah, provinsi maupun pusat.
Peran fasilitator dalam pelaksanaan kegiatan lebih berfokus bagaimana kegiatan itu berjalan lancar sesuai rencana, namun jika melihat dari fungsi Bappeda yang juga sebagai Clearing House, fasilitator dari Bappeda juga dimungkinkan memberikan arahan agar usulan disampaikan oleh partisipan dapat disesuaikan dengan tema pembangunan yang akan dilaksanakan.
Opsi melaksanakan Pelatihan dan sertifikasi fasilitator tentu memerlukan biaya tidak yang murah, apalagi ditengah menurunnya TKD oleh pusat Ke Kota Metro yang nilainya cukup signifikan akan sangat membebani anggaran Pemerintah Kota Metro.
Hal yang mungkin dilakukan dalam rangka Efisiensi serta efektivitas bagi falisitator dalam memanadu kegiatan Musrenbang RKPD adalah dengan membuat Buku Petunjuk Teknis/Buku Saku pelaksanaan Musrenbang. buku ini berisi Visi, Misi, Sasaran RPJMD dan Program Walikota yang diturunkan ke OPD. Sehingga saat pelaksanaan musrenbang RKPD fasilitator dapat memberikan informasi terkait tema pembangunan yang akan dilaksanakan tahun N+1. hal ini diharapkan mampu mengurangi inkonsistensi antara Usulan partisipan dan Tema Pembangunan yang akan dilaksanakan.
Jaya says:
November 3, 2025 at 4:19 am
Peran fasilitator dalam pelaksanaan kegiatan lebih berfokus bagaimana kegiatan itu berjalan lancar sesuai rencana, namun jika melihat dari fungsi Bappeda yang juga sebagai Clearing House, fasilitator dari Bappeda juga dimungkinkan memberikan arahan agar usulan disampaikan oleh partisipan dapat disesuaikan dengan tema pembangunan yang akan dilaksanakan.
Opsi melaksanakan Pelatihan dan sertifikasi fasilitator tentu memerlukan biaya tidak yang murah, apalagi ditengah menurunnya TKD oleh pusat Ke Kota Metro yang nilainya cukup signifikan akan sangat membebani anggaran Pemerintah Kota Metro.
Hal yang mungkin dilakukan dalam rangka Efisiensi serta efektivitas bagi falisitator dalam memanadu kegiatan Musrenbang RKPD adalah dengan membuat Buku Petunjuk Teknis/Buku Saku pelaksanaan Musrenbang. buku ini berisi Visi, Misi, Sasaran RPJMD dan Program Walikota yang diturunkan ke OPD. Sehingga saat pelaksanaan musrenbang RKPD fasilitator dapat memberikan informasi terkait tema pembangunan yang akan dilaksanakan tahun N+1. hal ini diharapkan mampu mengurangi inkonsistensi antara Usulan partisipan dan Tema Pembangunan yang akan dilaksanakan.
menanggapi saran dan masukan positif dari Pak Jaya:
terima kasih atas saran dan masukan, semoga saran dan masukan dapat menjadi bahan diskusi dalam rangka persiapan pelaksanaan musrenbang kedepan.